Dulu, Sunan Gunung Jati melakukan sebagian besar aktivitasnya di Masjid Agung Cipta Rasa. Oleh karena itu, masjd tersebut adalah bangunan sentral kedua setelah bangunan keraton itu sendiri dan tempat pusat untuk beragama. Uniknya, terdapat tradisi di mana adzan di sini dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin. Tradisi tersebut dilakukan secara rutin setiap kegiatan shalat Jumat. Angka tujuh di sini melambangkan tujuh hari dalam satu pekan. Disebut-sebut tradisi ini juga merupakan muadzin terbanyak di dunia. Demi ketetapan waktu dan materi, khutbah disampaikan dalam bahasa Arab.
Kategori: Ilmu Pengetahuan
Asal mula Keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan merupakan salah satu bukti peninggalan walisanga di Cirebon, ialah Syech Syarif Hidayatullah atau yang biasa kita kenal sebagai Sunan Gunung Jati. Namun, awalnya Keraton ini bukan diberi nama Kasepuhan, melainkan keraton Pakungwati. Nama ‘Pakungwati’ diambil dari nama putri pangeran Cakrabuwana (mahkota kerajaan Pajajaran) yang bernama lengkap Ratu Ayu Pakungwati. Keraton ini dibangun oleh Pangeran Cakrabuwana pada kurang lebih tahun 1430 yang kemudian diserahkan kepada putrinya. Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengn saudara sepupunya, ialah Sunan Gunung Jati. Kemudian Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai pimpinan atau kepala negara di Cirebon dan bersemayam di Keraton Pakungwati. Semenjak itu, Cirebon merupakan pusat perkembangan agama Islam di Jawa dengan adanya Walisanga yang dipimpin Sunan Gunung Jati dan peninggalan-peninggalannya, diantaranya Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pada tahun +/- 1679 didirikan Keraton Kanoman oleh Sultan Anom I (Sultan Badridin). Maka semenjak itu, keraton Pakungwati disebut Keraton Kasepuhan hingga sekarang dan sultannya bergelar Sultan Sepuh. Kasepuhan artinya tempat sepuh atau tua. Jadi antara Kasepuhan dan Kanoman itu awalnya yang tua dan yang muda (kakak beradik).
Prabu Siliwangi di dalam museum Keraton Kasepuhan
Bagi Anda yang sudah berkunjung ke museum Keraton Kasepuhan, Anda pasti pernah melihat lukisan potret Prabu Siliwangi. Lukisan tersebut merupakan hadiah dari seorang pelukis yang bernama Ridho pada tahun 2004. Menggunakan warna dominan cokelat dan putih, lukisan ini sempat viral pada masanya. Salah satu hal yang menarik adalah dari segi teknik melukisnya. Teknik ini membuat lukisannya pada bagian mata dan kakinya seolah-olah mengikuti pengunjung kemanapun arahnya. Menarik bukan?
Seperti yang kita ketahui, Prabu Siliwangi adalah kakek dari Sunan Gunung Jati. Ia memimpin kerajaan Pakuan Pajajaran pada tahun 1482-1521 M. Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peninggalan prasasti Batutulis yang dibuat oleh Prabu Surawasesa yang merupakan putranya dari Mayang Sunda.
Selama masa hidupnya Prabu Siliwangi memiliki banyak julukan, seperti Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pajajaran, Sri Sang Ratu Dewata atau Ratu Jayadewata (Danasasmita, 2003, hal 40, 2014, hal 41). Setelah beliau wafat, gelar lainnya yaitu Prabu Guru Dewataprana dan Prabu Ratu (Suryani, 2009).
Selain Mayang Sunda, Prabu Siliwangi juga menikahi seorang wanita bernama Subanglarang yang kemudian memiliki dua keturunan yaitu pangeran Cakrabuana dan Larasantang. Suatu ketika Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang) dan Larasantang memutuskan untuk masuk agama Islam dan pergi ke Mekkah untuk berhaji. Di sana Larasantang bertemu dengan Syarif Abdullah (dari Mesir dan keturunan Hasyim) yang nantinya mereka menikah. Pada tahun 1448 M, mereka dikaruniai keturunan yang dinamai Syarif Hidayatullah.